Pertambangan, suatu aktivitas penggalian mineral dari perut bumi
yang telah diusahakan oleh manusia sejak mulainya peradaban. Zaman batu, zaman
perunggu, zaman besi hingga baja menjadi acuan penentuan era peradaban manusia,
perambangan menjadi penanda yang penting. Begitu vitalnya aktivitas
pertambangan hingga kita kerap mendengar “everything begin with mineral”.
Begitulah kira-kira pemeo yang bekumandang dan seperti yang kita lihat bahwa
komputer, jam tangan mobil, pesawat kereta, jalan, gedung dan bangunan dan
hampir tak ada sekeliling kita yang tidak berasal dari mineral dan aktivitas
tambang.
Pertambangan pada dasarnya adalah aktivitas untuk
mensejahterakan manusia. Dengan teknologi yang makin berkembang, main beragam
jenis bahan tambang yang dapat diusahakan. Lambat laun perkembangan
pertambangan sebagai industri sangat terkait dengan banyak pihak dan kegiatan.
Tidak lagi hanya kebutuhan primer, kapitalisme yang membumbung telah membawa
pertambangan di ranah yang kian sulit dimengerti. Pertambangan begitu dinamis
hingga tidak dapat diajarkan di sekolah secara detail.
Kapitalisme ini mengarahkan pertambangan pada beragam konflik
mulai dari konflik politis, sosial, budaya hingga ekonomi global. Konflik di
kawasan pertambangan khususnya di Indonesia banyak berkembang dipicu oleh dua
perubahan dasar yakni kondisi ekonomi dan hukum. Kondisi ekonomi dipicu oleh
merosotnya kesejahteraan sebagian masyarakat Indonesia paca krisis moneter.
Kemudian kondisi hukum yang tiada menentu menyebabkan banyaknya celah pemegang
modal memanfaatkan rakyat untuk mendapatkan akses ke sumber daya mineral.
Seperti konflik PT. NMR (Newmont Minahasa Raya) dengan “mereka”
yang mewakili masyarakat sekitar Teluk Buyat, Indumuro Kencana dengan Penambang
Tanpa Izin (PETI), konflik pemanfaatan mineral timah dengan masyarakat Tambang
Ilegal (TI) hingga PETI batubara di Kalimantan Selatan. Konflik ini berkembang
sangat cepat dan meluas ke berbagai pihak. Dapat dikatakan bahwa konflik di
lahan tambang melibatkan banyak aktor intelektual dan juga pemegang modal.
Apabila di ditelaah maka dapat dikatakan bahwa akar pemasalahan
konflik pertambangan ini terjadi pada dua tataran. Pertama adalah pada tataran
mikro dimana konflik ini terjadi antara perusahaan dengan masyarakat setempat,
pemerintah atau dengan oknum spekulan dan aparat. Konflik ini umumnya terjadi
pada tataran lokal dan melibatkan internal perusahaan dengan penambang tanpa
izin seperti terjadi di tambang batubara di Kalsel, TI timah di Babel maupun di
Sulawesi Utara. DI beberapa tempat bahkan ada indikasi aparat menjadi katalis
atas meruncingnya konflik di wilayah itu sendiri.
Kemudian yang kedua terjadi pada tataran makro dimana pada
lingkup horizontal lebih luas mencakup konflik antar departemen pemerintah,
lembaga kehutanan dan NGO, dengan pemerintah pusat dan daerah. Contohnya adalah
ketika diterbitkan Undang-undang No. 41 tentang Kehutanan yang menyebabkan
tehentinya laju eksplorasi dan eksploitasi beberapa perusahaan yang telah
mendapat KP atau KK di wilayah Hutan Lindung, kemudian definisi hutan lindung
yang tidak jelas. Tumpang tindihnya wilayah tambang dengan hutan lindung ini
bagi sebagian orang terlihat karena adanya ego sektoral dan lemahnya law
enforcement.
Konflik pertambangan ini menjadi bengitu kompleks dan rumit
karena konflik tataran makro dan mikro ini menjadikan konflik meyatukan
berbagai variabel dengan lainya yang saling mempengaruhi. Seperti yang terjadi
di Freeport Papua, publik awalnya berpendapat bahwa permasalahan disana adalah
marginalnya pemerataan kesejahteraan sebagai dampak dari hadirnya PT. Freeport
Indonesia. Kemudian berkembang menjadi isu sosial ke arah masyarakat suku
pribumi (Amungme, Komoro dan lainya) terkait dengan wilayah. Itu baru masuk ke
tataran mikro.
Lalu selanjutnya berkembang ke tataran makro dimana PTFI
dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan akibat pembuangan
tailing sepanjang Sungai Ajkwa, dimana tuntutan ini dikeluarkan mulai dari NGO
lokal dan internasional hingga Kementerian Lingkungan Hidup. Lalu belakangan
ini merambah ke isu keamanan yang melibatkan aparat keamanan negara. Jadi
konflik pertambangan ini menjadi begitu luas dan makin sulit untuk dibenahi
tanpa adanya good will dari tiap-tiap institusi.
Di bawah ini adalah beberapa isu konflik pertambangan yang kerap
terjadi pada tataran mikro seperti:
·
Isu pelaksanaan CSR,
CSR saat ini sudah mulai dimasukan sebagai integrasi aktivitas tambang dan
bukan lagi bersifat charity semata. CSR lebih
menekankan peran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap kesejahteraan
masyarakat sekitarnya. Program CSR yang berhasil haruslah diintegrasikan
ke dalam strategi menyeluruh dari perusahaan. CSR harus disadari oleh
perusahaan sebagai upaya membangun hubungan yang baik dengan salah satu
pemangku kepentingan perusahaan, yaitu masyarakat luas yang terkena dampak
operasi perusahaan. Sebagai konsekuensi kesadaran bahwa perusahaan haruslah
tampil sebaik mungkin di hadapan seluruh pemangku kepentingannya, CSR untuk
masyarakat haruslah menjadi bagian integral dari strategi perusahaan.
·
· Akses
terhadap kepemilikan sumberdaya mineral, Kesempatan untuk mendayagunakan
sumberdaya mineral atau dapat dikatakan perlombaan eksploitasi ini umumnya
menimbulkan rasa ketidakadilan. Perusahaan dianggap memiliki akses yang luar
biasa besar, sementara masyarakat tidak diberikan akses yang sama. Meskipun
pemerintah melalui UU Minerba NO. 4 tahun 2009 telah menetapkan wilayah
pencadangan mineral dan wilayah pertambangan rakyat. Ketimpangan akses ini juga
umumnya memicu timbulnya PETI yang “merasa” juga berhak mendapatkan akses yang
sama, meskipun secara legalitas tidak dimiliki.
·
· Kesempatan
dan persaingan kerja, Umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara
masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Seperti diketahui,
industri tambang sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology
sehingga pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai.
Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill
terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan
berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah yang
memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan putra daerah.
·
· Hak
ulayat dan hak individu, Tentunya konflik ini berakar dari ketidakpenerimaan
masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat
masyarakat setempat. Tanah ulayat di klaim sebagai kewenangan, yang
menurut hukum adat,
dimiliki oleh masyarakat hukum
adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya,
dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dna hak
ulayat tentunya akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya
· Kerusakan
lingkungan, Pastinya ini adalah konflik menerus yang dihadapi oleh
pertambangan. Kerusakan lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas
tambang pada dasarnya bersifat destruktif karena merubah bentang alam, sifat
fisik dan kimia tanah, bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total.
Selain aktivitas tambang, aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan
lingkungan seperti terjadinya air asam tambang (acid mine drainage) akibat
teroksidasinya mineral yang mengandung sulfida. Dampak ini tentunya
memprihatinkan karena kerusakanya tidak dapat ditanggulangi dalam waktu cepat.
· Dampak
PETI, PETI atau pertambangan tanpa izin adalah salah satu konflik multi
kompleks yang terjadi di pertambangan indonesia. Dikatakan multi kompleks
karena meliatkan banyak stakeholder makro maupun mikro. Banyak yang
berkepentingan atas hadirnya PETI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP)
perusahaan.
PETI sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh
perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang
dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para
penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor
kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan
pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan
hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi berkepanjangan
yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan
dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan
pertambangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.
Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan
yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya
mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan
potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus
mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal
lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan
dan premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah,
semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin
berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kerusakan lingkungan
Lalu apa sajakah yang dapat menjadi trigger terjadinya konflik
di pertambangan..? salah satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana
terjadi kekurangpahaman hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak
ikut serta dalam pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan
mereka sendiri tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran
perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di
berbagai bidang ekonomi lanjutan (multiplier effect).
Kemudian ada pemicu berganda lain seperti penggunaan lahan milik
masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujduanya legalitas yang menguntungkan kedua
pihak. Akibanya menyebabkan terputusnya hubungan mekanistik antara masyarakat dengan
habitat asal dan lingkungan sosialnya dan merubah ritme kehidupan mereka.
Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya sikap”menuntut” ini dan itu
terhadap perusahaan.
Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment)
masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep
membangun tambang yang berkelanjutan..? Meski diakui bahwa konsep ini yang
diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) baru berada pada
milestone awal dan terkdang di perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap
sebagai terobosan baru di dunia perusahaan terlebh untuk perusahaan ekstraktif,
karena menggabungkan prinsip “people and planet” dalam aktivitas pencarian
“profit” perusahaan.
Diakui atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri
ekstraktif seperti pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan
kemampuan membangun diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama
harus mampu menganggap hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang
sejajar. Jangan menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya
memberi kail tetapi tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang
tepat.
Secara garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi
karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh
Pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan nasional. Juga oleh belum
didukungnya optimasi national resources sustainabilityantara
pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam
management yang integral
Tidak ada komentar:
Posting Komentar