Kamis, 29 November 2012

Hukum Pertambangan


PENGATURAN DIVESTASI SAHAM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA







*Ahmad Redi, S.H.,M.H.

          Setelah sempat terjadi kekosongan pengaturan mengenai pengenaan kewajiban divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan asing, terutama terkait belum adanya pengaturan tahapan (waktu) divestasi saham serta belum mencerminkannya semangat penguasaan mineral dan batubara oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, kini dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sejumlah persoalan di bidang pertambangan mineral dan batubara mulai terjawab.
          Peraturan Pemerintah (PP) yang ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 21 Februari 2012 ini kehadirannya telah ditunggu oleh banyak pihak. Sebagaimana dibahas di atas, bahwa persoalan tahapan (waktu) divestasi saham oleh perusahaan asing kepada peserta Indonesia belum ada pengaturannya sebelum PP ini terbit. Apalagi dengan adanya pengenaan kewajiban divestasi saham oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemagang IUP dan IUP Khusus (IPUK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah (pusat), pemerintah daerah, badan usaha milik Negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha swasta nasional (Pasal 112 ayat (1)). Kemudian sebagai aturan organis dari UU No.4 Tahun 2009 ini, terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 yang diantaranya mengatur mengenai peraturan pelaksanaan dari Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 yang dalam Pasal 97 mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia yang penawaran saham tersebut dilakukan secara hirarkies, maksudnya pertama-tama ditawarkan kepada Pemerintah (pusat) dan apabila Pemerintah (pusat) tidak berminat maka ditawarkan kepada pemerintah daerah, dan seterusnya.
          Terhadap pengaturan dalam PP 23 Tahun 2010 tersebut, ada beberapa persoalan pokok yang menimbulkan perdebatan, antara lain mengenai komposisi saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) yang dianggap belum mencerminkan kedaulatan sektor pertambangan Negara sebagaimana amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, yaitu negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hanya memiliki hak kepemilikan saham sebesar paling sedkit 20% (dua puluh persen). Padahal dalam Pasal 4 UU No.4 Tahun 2009 mengatur bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Secara filosofis, terdapat perbedaan makna antara “penguasaan” dan “pemilikan”, sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2010 tentang Minyak dan Gas Bumi, bahwa:
 “Interpretasi Pasal 33 UUD 1945 mengenai “penguasaan” dengan penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukan semata-mata pemilikan. Pemilikan adalah konsep perdata, sedangkan penguasaan adalah konsep tata negara. Di dalam konsep menguasai tersebut tercakup pengawasan, pemilikan, pengelolaan dan sebagainya. Itu merupakan kebijakan negara. Yang penting adalah menentukan bagaimana kebijakan mengenai teknis penguasaan yang tergantung  kepada komoditinya. Apakah suatu komoditi penting bagi negara atau menguasai hidup orang banyak atau tidak tergantung kondisi, situasi dan perkembangan zaman. Jadi dapat saja berubah. Misalnya migas kalau suatu hari nanti ada penggantinya jauh lebih hemat dan ramah lingkungan boleh jadi migas tidak dianggap penting lagi bagi negara atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Berikutnya adalah bagaimana cara menguasainya. Yang penting adalah cara yang tidak merubah status menguasai itu sendiri. Misalnya pemilikan, pemilikan adalah salah satu bentuk penguasaan, tetapi tidak harus 100 persen, bisa saja 25 persen  jika 25 persen tersebut berada pada posisi menguasai. Sebaliknya walaupun 49 persen tetapi menentukan direktur saja tidak bisa, berarti tidak berkuasa. Jadi konsep menguasai jelas sekali. Jangan sampai ketentuan konstitusi diplesetkan “Bumi dan air dan segala kekayaan alam yang terkandung  di dalamnya dikuasai oleh negara dan dijualbelikan dengan harga internasional, dikuasai oleh negara dan dijualbelikan dengan rakyat dengan harga internasional untuk sebesar-besar kemakmuran pejabat negara.”Di sisi lain harus disadari bahwa negara ini sudah terintegrasi oleh ekonomi dunia. Seorang negarawan harus pandai-pandai melihat dan menilai dari banyak aspek. Jangan hanya melihat dari satu kacamata teori ekonomi saja. Pasal 33 UUD 1945 janganlah  dipahami secara kaku. Pasal 33 UUD 1945 tidak anti privatisasi dan tidak juga anti swastanisasi. State hanya salah satu domain saja dari 3 (tiga) domain yang ada, yaitu state, civil society, dan market. Hakim harus adil  di tengah-tengahnya, tidak bisa hanya memihak negara dalam pengertian sempit, begitu juga civil society, tidak juga berpihak kepada market. Ketiganya harus sama-sama kuat saling mengimbangi. Dalam sistem demokrasi moderen ketiganya  saling menunjang dan harmoni. Dengan begitu demokrasi tumbuh sehat, dan di tengah demokrasi yang sehat kesejahteraan  sosial-pun tumbuh.”[1]
          Dengan demikian konsep “penguasaan” mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang banyak untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan tersebut sangat erat kaitannya dengan tujuan dari penguasaan untuk kemakmuran rakyat. Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:[2]
1.    segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
2.    melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
3.    mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknnya dalam menikmati kekayaan alam.
        
         Secara riil, bentuk penguasaan oleh negara tersebut dapat dimanifestasi dari adanya pola pemberiaan izin dari negara (pemerintah) kepada pihak lain untuk dapat memanfaatkan suatu sumber daya alam yang dikuasai negara melalui rezim perizinan. Pemberian izin tersebut bukan berarti suatu penguasaan oleh negara kemudian beralih kepada penguasan oleh bukan negara, namun dengan rezim perizinan memperjelas kedudukan negara (pemerintah) sebagai entitas yang memiliki kekuasaan terhadap penguasaan sumber daya alam.
         Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2009, IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota. Pemberian izin tersebut memperkuat kedudukan Negara sebagai “penguasa” sumber daya alam.
         Selain itu, bentuk penguasaan oleh negara terhadap sumber daya alam mineral dan batubara sebagaimana diulas sebelumnya bentuk divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan asing kepada peserta Indonesa. Karakteristikan penambangan mineral dan batubara yang high cost, high technology, high risk memang mengharuskan perusahaan asing untuk dapat pula dalam kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Modal besar, teknologi tinggi, serta kesiapan atas kerentanan resiko masih belum banyak dimiliki oleh perusahaan nasional, sehingga mau tidak mau perusahaan asing dapat melakukan kegiatan penambangan mineral dan batubara, sehingga selain menembus kesulitan modal dan teknologi, maka potensi tambang yang ada tidak dibiarkan saja tanpa pengelolaan sehingga menjadi “silent trove” namun dapat menjadi penerimaan negara serta terjadinya alih teknologi guna mendukung teknologi dalam negeri.
         Guna mengembalikan penguasaan dan pemilikan mineral dan batubara tersebut dibentuklah konsep pengalihan kembali atau divestasi saham dari perusahaan asing tersebut kepada peserta Indonesia. Melalui pengaturan 5 (lima) tahu setelah berproduksi memungkinkan pelaku usaha asing mendapat keuntungan secara penuh selama 5 tahun awal sebelum didivestasikan sahamnya. Selain itu, peserta Indonesia (Pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta nasional) tidak serta merta menerima pengalihan saham secara cuma-cuma, saham yang ditawarkan tersebut tentunya dibeli sesuai dengan mekanisme pasar.
         Sebagaimana dalam PP No. 24 Tahun 2012 bahwa dalam rangka memberi kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, perlu mewajibkan modal asing untuk mengalihkan sebagian sahamnya kepada peserta Indonesia, Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. Perubahan jumlah saham yang ditawarkan dari semula paling sedikit 20% (dua puluh persen) menjadi paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) merupakan bentuk semangat dari Pemerintah untuk memberikan partisipasi kebih besar kepada peserta Indonesia, selain bahwa secara filosofis memuat kepentingan agar penguasaan serta kedaualatan sektor pertambangan  mineral dan batubara berada di tangan Negara.
         Selain itu, untuk memperjelas mekanisme persentase penawaran yang dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur makan dalam PP No.24 Tahun 2012 hal tersebut diatur. Kepemilikan peserta Indonesia dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak boleh kurang dari presentase sebagai berikut: tahun keenam 20% (dua puluh persen); tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen); tahun kedelapan 37% (tiga puluh tujuh persen); tahun kesembilan          44%   (empat puluh empat persen); tahun  kesepuluh  51%  (lima  puluh  satu  persen) dari jumlah seluruh saham. Dengan demikian, tidak terjadi kekosongan pengaturan mengenai tahapan waktu pengaturan sebagaimana dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur.
         Namun demikian, terdapat persoalan pula dari rumusan tersebut, yaitu bagaimana bila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah berproduksi komoditas tambang yang diusahakan telah habis terlebih dahulu sebelum sahamnya dialihkan kepada peserta Indonesia. Tentunya akan menjadi persoalan tersendiri, terutama apabila dengan sengaja perusahaan tambang asing tersebut memproduksi komoditas tambangnya secara besar-besaran dalam 5 (lima) tahun masa produksi sebelum dikenakan kewajiban divestasi saham. Persoalan ini harus ditelaah dulu secara ilmu pertambangan, sehingga apabila mungkin persoalan ini menjadi sesuatu yang mungkin, maka sebaiknya segera pula dicarikan solusi hukumnya.
         Lahirnya PP No. 24 Tahun 2012 menjadi secercah harapan bagi beberapa persoalan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara, selain permasalahan divestasi saham, PP ini pun mengatur menganai penataan kembali  pemberian IUP untuk mineral bukan logam dan batuan; tata cara permohonan IUP perpanjangan dalam bentuk IUP terhadap pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara sehingga memberikan kepastian hukum. Semoga dengan lahirnya PP ini dapat menjadi instrument bagi potensi mineral dan batubara untuk dapat sebesar-besar kemakmuran rakyat.


[1] Jimly Asshiffiqie, Politik Perekonomian Nasional, http://www.jimly.com/pemikiran/view/17
[2] Bagir Manan, dkk, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Masdar Maju, 1995), hlm. 17.

Selasa, 27 November 2012

Penambangan Liar Yang Merusak Lingkungan





GOWA, KOMPAS.com - Tambang liar di empat kecamatan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan terus beraktivitas dan dianggap tidak mempedulikan lingkungan. Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) akan menghentikan aktivitas tambang ilegal tersebut.

Keempat kecamatan itu masing-masing Bontonompo, Bajeng, Pallangga dan Bontomarannu. Aktivitas tambang liar sangat meresahkan warga. Bahkan kondisi lingkungan di area penambangan itu pun sangat memprihatinkan.

"Berdasarkan laporan yang kami terima dari masyarakat dari keempat kecamatan itu, baik melalui SMS maupun laporan langsung dari masyarakat termasuk hasil pemantauan kita di lapangan, aktivitas tambang liar ini memang sudah sangat meresahkan warga," kata Kepala Distamben Gowa, Syafruddin Ardan di Sungguminasa, Rabu (3/10/2012).

Menurut Syafruddin, pihaknya kerap memberikan peringatan kepada para oknum penambang yang melakukan aktivitas penambangan.Bahkan peringatan langsung maupun tertulis sudah banyak kali dilakukan. Namun semuanya tidak pernah digubris oleh para oknum penambang liar.

Kendala di lapangan, saat kita turun ataupun ada aparat, mereka berhenti beroperasi. Namun saat kita kembali, mereka pun kembali menjalankan aktivitasnya.

Ia berharap kerjasama dengan tim terpadu penertiban tambang kabupaten maupun pihak muspida kecamatan mampu secepat mungkin mengambil langkah-langkah tegas guna menghentikan aktivitas tambang liar yang kian liar itu.

"Kendala di lapangan, saat kita turun ataupun ada aparat, mereka berhenti beroperasi. Namun saat kita kembali, mereka pun kembali menjalankan aktivitasnya. Perbuatan atau ulah para oknum penambang liar ini sudah masuk dalam kategori pelanggaran hukum berat. Oleh sebab itu, para oknum penambang ilegal tersebut sudah bisa dikenai sanksi pidana untuk memberikan efek jera kepada mereka," tegasnya.

"Sudah merusak lingkungan, aktivitas para oknum penambang liar ini pun merugikan Pemkab karena mereka tidak membayar sepeserpun retribusi sebagai sumber PAD. Ini kan sudah sangat keterlaluan namanya," ujar Syafruddin

Pertambangan



JAKARTA - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku bahwa masalah perizinan di sektor pertambangan masih menjadi persoalan serius yang bisa menjadi bom waktu bagi upaya peningkatan investasi di tanah air.

"Banyak sekali izin-izin yang bermasalah, ribuan, bukan hanya ratusan. Kita terus benahi dan ini tidak bagus karena menghambat investasi, merusak segalanya," kata Yudhoyono, hari in. Presiden menuturkan, kasus perizinan pertambangan selama setahun terakhir terus mencuat di berbagai wilayah. Salah satu contohnya adalah kasus kerusuhan Bima di Nusa Tenggara Barat yang sempat menimbulkan gejolak berkepanjangan antara warga dengan perusahaan.

Terakhir, dia menambahkan, adalah kasus perizinan areal pertambangan di Kalimantan Timur yang telah menyeret Presiden ke pengadilan arbitrase internasional
Menurut Yudhoyono, ekses implementasi otonomi yang tidak tepat telah menyebabkan banyak perizinan pertambangan yang dikeluarkan Bupati/Walikota menimbulkan masalah. "Kadang-kadang, ganti bupati ganti izin, ini bom waktu semuanya," tegasnya.

Kondisi itu, dia melanjutkan, diyakini bisa mengganggu iklim investasi Indonesia yang kini tengah gencar dicanangkan pemerintah.Melihat kondisi tersebut, Presiden mengambil keputusan untuk menertibkan izin-izin yang dikeluarkan Bupati/Walikota itu. Gubernur sebagai perpanjangan pemerintah pusat akan diberi kewenangan lebih besar melaksanakan penertiban tersebut.

"Kalau tidak tertib, ya kita tegakkan aturan. Baik administrasi, kalau itu urusan administrasi. Kalau masuk hukum, ya hukum," kata Yudhoyono. Dengan upaya penertiban tersebut, dia menuturkan, pemerintah berharap negara Indonesia bisa mengatasi manajemen negatif yang selama ini masih berkembang. "Ini untuk mengamankan negeri dari manajemen negatif tentunya, salah urus, yang terjadi di era reformasi ini," ujarnya.

Sementara itu, Anggota Komisi 7 DPR, Dewi Aryani, menilai pemerintah menganggap masalah ini sebagai masalah biasa yang nantinya akan berlalu begitu saja, sementara kekayaan alam bangsa ini tergerus dan habis di ekploitasi asing yang tidak secara maksimal memberi manfaat untuk kepentingan nasional.

Dia mencontohkan, kasus mandegnya renegosiasi mencerminkan Freeport memang tidak ada niat baik. Menurutnya, saat ini Pemerintah Indonesia mengajukan enam butir Renegosiasi yakni terkait luas wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penerimaan negara atau royalti, kewajiban pengolahan dan pemurnian, kewajiban divestasi dan kewajiban penggunaan barang atau jasa pertambangan dalam negeri.

"Dari keenam butir renegosiasi tersebut, hingga saat ini hanya butir kenaikan royalti emas yang disetujui oleh PT Freeport. Royalti emas yang awalnya hanya sebesar satu persen, setuju dinaikkan menjadi 3,75 persen dari harga jual per ton, yang sebenarnya sangat tidak signifikan bagi negara," ungkap Dewi.  

Dewi menambahkan, langkah renegosiasi yang dilakukan Pemerintah dengan Freeport ini seharusnya juga dijadikan momentum untuk mereposisi sektor energi di Indonesia. Namun, pemerintah terkesan setengah-setengah menanam keseriusan untuk membawa sektor energi sebagai sektor yang seharusnya diprioritaskan. Padahal, jika Pemerintah memahami dengan benar bahwa energi memiliki interkonektivitas yang kompleks dengan berbagai sektor kehidupan yang lain, maka seharusnya niatan untuk mereposisi sektor energi sebagai leading sector tidak lagi setengah-setengah.

Menurutnya, hal ini karena kegagalan akan menimbulkan eksternalitas negatif kepada sektor lainnya dan akan mengganggu berjalannya proses pembangunan. Dia melanjutkan, keterkaitan energi dengan berbagai sektor lain seperti ekonomi, politik, lingkungan, dan sosial menempatkan energi sebagai sebuah hal yang keberadaannya perlu diposisikan dalam ruang lingkup kebijakan prioritas.

"Pada kenyataannya, sikap Pemerintah yang selama ini mengesampingkan kebijakan energi dibandingkan dengan kebijakan lainnya menuai hasil berupa kelangkaan energi yang disebabkan oleh salah tata kelola energi," katanya.

Selain itu, dia juga menilai pemerintah tidak mampu menjalankan amanah dalam konstitusi, yaitu UUD 1945, khususnya pasal 33 Ayat (2) yang mengamanahkan peran Pemerintah sebagai penanggung jawab pengelolaan SDA yang ada di seluruh Indonesia. "Salah satunya adalah tambang emas yang saat ini dikelola Freeport," tukasnya.
(dat06/vivanews/okz)

Rabu, 21 November 2012

Pengertian pertambangan di indonesia

Pengertian Tambang 
1.      Suatu penggalian yang dilakukan di bumi untuk memperoleh mineral (Hartman,1987)
2.      Lokasi kegiatan yang bertujuan memperoleh mineral bernilai ekonomis (kamus istilah teknik pertambangan umum, 1994).

Pengertian Pertambangan 
1.      Sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian,pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum,eksplorasi,studi kelayakan,konstruksi,penambangan,pengolahan dan pemurnian,pengangkutan dan penjualan,serta kegiatan pesca tambang (UU No 4 Tahun 2009) 
2.      Kegiatan,pekerjaan dan industri yang berhubungan dengan ekstraksi mineral (Hartman,1987) 
3.      ilmu pengetahuan,teknologi dan bisnis yang berkaitan dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi,eksplorasi,evaluasi,penambangan,pengolahan,pemurnian sampai dengan pemasarannya (kamus istilah teknik pertambangan umum,1994)

Pengertian Teknik Pertambangan 
Suatu "seni"/rekayasa dan ilmu pengetahuan yang diterapkan pada proses penambangan dan operasional tambang (Hartman,1987) 

Mineral 
Benda padat anorganik dan homogen yang terbentuk secara alamiah,mempunyai sifat0sifat fisik dan kimia tertentu,dapat berunsur tunggal (Au,Cu,Ag) atu persenyawaan (NaCl, CaCO3

Batubara 
Endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan 

Bijih 
Mineral yang memiliki kegunaan dan nilai tertentu yang dapat diekstrak/ditambang secara menguntungkan (Hartman,1987) 



Pertimbangan Dasar Rencana Penambangan 
Pertimbangan Ekonomis
1.      Cut Off Grade (COG) ,ada 2 pengertian dari cut off grade yaitu :1)kadar endapan bahan galian terendah yang masih menguntungkan apabila ditambang,2)kadar rata-rata terendah yang masih menguntungkan apabila ditambang. Cut off grade inilah yang akan menentukan batas-batas atau besarnya cadangan serta menentukan perlu tidaknya dilakukan pencampuran (mixing/blending) antara endapan bahan galian yang berkadar tinggi dengan berkadar rendah 
2.      Break Even Stripping Ratio (BESR),yaitu perbandingan antara biaya biaya penggalian endapan bijih (ore) dengan biaya pengupasan tanah penutup (overburden)

Pertimbangan Teknis
1.      Penentuan ultimate pit limit,yaitu batas akhir atau paling luar dari suatu tambang terbuka yang masih diperbolehkan dengan kemiringan lereng yang masih aman.
2.      Pertimbangan struktur geologi yang dominan yang terdiri dari 1) perlapisan dan perlipatan,2)sesar dan patahan,3)cleavage.
3.      Pertimbangan geometri yang terdiri dari 1)geometri jenjang,2)jalan tambang
4.      Stripping ratio (SR) yaitu perbandingan antara jumlah bijih yang harus dipindahkan dengan jumlah batuan penutup (overburden)
5.      Pertimbangan hidrologi dan hidrogeologi,yaitu berupa sungai,air permukaan (air hujan) dan air tanah. Penanganannya dapat berupa mine drainage (mencegah air masuk kedalam tambang) dan mine dewatering(mengeluarkan air yang telah masuk kedalam tambang)

Sumber : http://endah121.blogspot.com/2010/01/pengertian-tambangtahap-tahapnya.html

Pertambangan Indonesia Hadapi Dilema
Tunda Investasi atau Ubah Status Hutan Lindung

SEDIKITNYA 150 perusahaan tambang menunda investasi di Indonesia, karena wilayah pertambangan yang sudah diberikan pemerintah ternyata ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pemerintah menghadapi dilema, apakah fungsi hutan lindung akan diubah menjadi hutan produksi, sebab harus memilih, mengubah kebijakan menjaga kelestarian hutan atau membiarkan untuk usaha pertambangan terbuka dengan risiko kerusakan lingkungan.Persoalan mandeknya investasi tambang akibat status hutan lindung, dipicu lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 (UU No 41/1999) mengenai Kehutanan. Dalam UU tersebut sudah jelas penegasan bahwa tidak boleh dilaksanakan pertambangan terbuka di atas hutan lindung.
Pada Pasal 19 UU No 41/1999, Ayat (1) disebutkan bahwa "Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, ditetapkan oleh pemerintah dengan didasarkan pada hasil penelitian terpadu"; Ayat (2) disebutkan "perubahan peruntukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang berdampak penting dan cakupan luas, serta bernilai strategis, ditetapkan oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)"; Ayat (3) disebutkan bahwa "ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah".
Dalam penjelasan undang-undang tersebut, disebutkan bahwa penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin obyektivitas dan kualitas hasil penelitian. Oleh karena itu, penelitian diselenggarakan oleh lem-baga pemerintah yang mempunyai kompetensi dan otoritas ilmiah bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.
Sementara, yang dimaksud dengan berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis, adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik, seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral (GSDM) Wimpy S Tjetjep, mengakui, sektor pertambangan di Indonesia memang berada pada kondisi yang sangat sulit berkembang. Sektor pertambangan mendapat tantangan yang sangat besar bukan hanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), namun datang dari pemerintah daerah (pemda) maupun departemen lain yang terkait.
Namun, tertahannya investasi dari 150 proyek tambang baru dan perluasan tambang, hanya salah satu masalah yang dihadapi oleh dunia pertambangan di Indonesia. Pada tahun 2001, industri pertambangan Indonesia juga menghadapi tantangan baru, di antaranya tekanan masalah harga mineral, situasi politik, ekonomi dan sosial yang berkelanjutan di Indonesia.
Bersamaan dengan ketidakpastian iklim perundang-undangan, tampaknya akan memberikan dampak negatif kepada industri pertambangan secara keseluruhan. Peraturan yang tumpang tindih, sering membuat pengusaha pertambangan kesulitan dalam melaksanakan kegiatannya.
Tidak dapat dimungkiri, perusahaan asing telah menjadi katalisator bagi pembangunan sebagian besar dari industri pertambangan Indonesia. Sebagai catatan penting, pada tahun ini keputusan tentang kasus divestasi PT Kaltim Prima Coal (KPC)-dimiliki bersama Rio Tinto dan BP-kemungkinan akan menimbulkan konsekuensi yang luas kepada industri, maupun bagi Indonesia dalam arti yang luas.
Masalah KPC yang dianggap dapat mengancam daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi pertambangan, adalah masalah gugatan Pemda Kalimantan Timur terhadap KPC atas kasus divestasi 51 persen saham KPC. Pemegang saham KPC menilai, langkah Pemda Kaltim yang mengajukan gugatan perdata sebagai cermin dari ancaman investasi bagi investor asing di Indonesia.
Direktur KPC, Lex Graefe, beberapa waktu lalu mengatakan, bila cara semacam ini terus dipakai oleh pemda, tidak mustahil para investor akan hengkang. Selain mencemaskan investor, tindakan tersebut juga dapat mengganggu jalannya investasi ke Indonesia di masa mendatang.

***

PADAHAL, tahun 2002 menjadi harapan, agar produksi tambang Indonesia dapat meningkat, khususnya dengan adanya peserta baru yang akan memaksimalkan operasinya. Dengan cara memanfaatkan kelebihan kapasitas industri, terutama di sektor batu bara dengan terjadinya perbaikan harga batu bara dunia belakangan ini.
Namun, banyak persoalan, khususnya pada produksi batu bara yang terpengaruh kegiatan penambangan tanpa izin (peti) yang jumlahnya belakangan ini meningkat secara signifikan di Indonesia. Khususnya pada sektor timah dan batu bara, kecuali pemerintah segera memberikan bantuan kepada perusahaan-perusahaan untuk mengatasi masalah ini.
Investasi dalam industri pertambangan Indonesia pada tahun 2002, juga diperkirakan akan merosot dengan tajam, khususnya dalam pengeluaran untuk pengembangan dan untuk aktiva tetap. Sementara itu, pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan diperkirakan tetap berada pada tingkat rendah yang telah dialami sejak tahun 1997.
Hal ini menjadi gambaran, kurangnya proyek baru dan keinginan perusahaan pertambangan di Indonesia untuk memusatkan perhatian kepada operasi mereka yang telah mapan. Kondisi ini, diperkirakan akan berlanjut sampai adanya kejelasan mengenai iklim perundang-undangan, serta stabilnya situasi politik dan ekonomi Indonesia.
Dari survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers terhadap 32 perusahaan pertambangan yang telah berproduksi, dan lebih dari 250 perusahaan eksplorasi yang terlibat dalam eksplorasi di Indonesia selama tahun 1996-2000, menunjukkan pengeluaran industri tambang di Indonesia oleh responden terus merosot pada tahun 2000. Dibandingkan dengan pengeluaran tahun 1999 sebesar 2,53 milyar dollar AS, pengeluaran tahun 2000 turun 3 persen menjadi 2,46 milyar dollar AS.
Pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan mengalami penurunan yang jauh lebih besar. Pada tahun 1999 pengeluaran untuk sektor itu mencapai nilai sebesar 77,9 juta dollar AS, tahun 2000 turun sebesar 14 persen menjadi 67,3 juta dollar AS. Angka pada tahun 2000 itu mencerminkan hanya 42 persen dari puncak pengeluaran untuk eksplorasi dan studi kelayakan yang terjadi pada tahun 1996, tercatat pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan dalam tahun 1996-2000 mencapai 556,7 juta dollar AS.
Jumlah pengeluaran eksplorasi dan studi kelayakan responden dalam persentase terhadap pengeluaran eksplorasi dunia tidak bergerak dari tahun sebelumnya, yaitu 2,9 persen. Dalam masa lima tahun tersebut, pengeluaran eksplorasi Indonesia umumnya mengikuti kecenderungan dunia dalam persentase yang hampir statis, berkisar 3,5 persen pada tahun 1996 sampai kepada yang terendah 2,7 persen pada tahun 1997.
Menurunnya pengeluaran eksplorasi ini menimbulkan keprihatinan, karena keberhasilan jangka panjang industri pertambangan Indonesia, bergantung kepada eksplorasi yang berkesinambungan dan penemuan, serta pengembangan endapan baru. Tingkat keberhasilan eksplorasi terhadap penemuan endapan yang ekonomis, beserta dengan lamanya proses penemuan sampai kepada produksi, menekankan pentingnya kegiatan eksplorasi dewasa ini.
Pengeluaran untuk pengembangan dan aktiva tetap, mencapai 847,8 juta dollar AS pada tahun 2000, atau turun sebesar 482,5 juta dollar AS dari tahun sebelumnya. Pengeluaran untuk pengembangan turun 48 persen menjadi 191,2 juta dollar AS dan pengeluaran untuk aktiva tetap turun 32 persen menjadi 656,6 juta dollar AS, karena perusahaan pertambangan memusatkan pengeluaran investasi mereka kepada proyek yang sudah "matang".
Program investasi utama yang dilaksanakan oleh perusahaan pertambangan dalam beberapa tahun terakhir ini, di antaranya perluasan Grasberg oleh Freeport dan Rio Tinto sebesar satu milyar dollar AS, perluasan fasilitas pengolahan Inco Soroako sebesar 0,6 milyar dollar AS dan Proyek Batu Hijau Newmont, sebesar dua milyar dollar AS.
Tingkat investasi yang direncanakan pada tahun 2001 menunjukkan penurunan 55 persen dari tingkat pengeluaran tahun sebelumnya, dan penurunan 36 persen dari pengeluaran aktual rata-rata dalam lima tahun sebelumnya. Penurunan jumlah investasi yang direncanakan dibandingkan dengan tahun lalu dengan rata-rata empat tahun sebelumnya terjadi dalam semua bagian investasi, terutama yang berhubungan dengan aktiva tetap dan pengembangan.
Sembilan perusahaan yang telah berproduksi dan tujuh perusahaan eksplorasi melaporkan rencana investasi tahun 2001 sebesar 413 juta-226,4 juta dollar AS untuk aktiva tetap. Lalu, 71,9 juta dollar AS untuk eksplorasi dan studi kelayakan, 74,7 juta dollar AS untuk kegiatan berhubungan dengan pertimbangan.
Penurunan yang signifikan pada rencana investasi tahun 2001 tersebut, sebagian mencerminkan kekurangpercayaan para investor. Hal ini disebabkan berlanjutnya ketidakstabilan politik dan ekonomi di Indonesia, serta ketidakpastian di sekitar pemberlakuan undang-undang pertambangan yang baru, dampak otonomi daerah, dan bentuk, serta isi kontrak pertambangan generasi berikutnya.
Namun, ada juga pos pengeluaran yang meningkat, sebab jumlah pembelian meningkat sebesar 38 persen menjadi 1.547,6 juta dollar AS pada tahun 2000. Peningkatan terjadi pada barang-barang yang diimpor oleh perusahaan maupun yang dibeli di dalam negeri. Masing-masing meningkat sebesar 46 persen menjadi 977,3 juta dollar AS dan 38 persen menjadi 567,4 juta dollar AS. Meningkatnya pembelian dalam negeri kembali memperlihatkan bahwa industri pertambangan terus mendukung ekonomi Indonesia.
Namun, kenapa pemerintah terkait tidak mencoba untuk berkoordinasi dalam upaya mempertahankan sektor ini tetap menarik, bagi investor lokal maupun asing. Tentunya tanpa harus mengabaikan hancurnya lingkungan, hanya karena ketidaktegasan hukum. Ditambah lemahnya keteguhan para pejabat publik untuk memberlakukan sanksi bagi perusahaan pertambangan yang jelas-jelas tidak kooperatif dengan lingkungan, masyarakat sekitar, dan kepentingan ekonomi negara.