PENGATURAN DIVESTASI SAHAM PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA
*Ahmad Redi, S.H.,M.H.
Setelah sempat terjadi kekosongan
pengaturan mengenai pengenaan kewajiban divestasi saham pemegang izin usaha
pertambangan (IUP) yang dimiliki perusahaan asing, terutama terkait belum
adanya pengaturan tahapan (waktu) divestasi saham serta belum mencerminkannya
semangat penguasaan mineral dan batubara oleh negara untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, kini dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, sejumlah
persoalan di bidang pertambangan mineral dan batubara mulai terjawab.
Peraturan Pemerintah (PP) yang
ditetapkan oleh Presiden dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada
tanggal 21 Februari 2012 ini kehadirannya telah ditunggu oleh banyak pihak.
Sebagaimana dibahas di atas, bahwa persoalan tahapan (waktu) divestasi saham
oleh perusahaan asing kepada peserta Indonesia belum ada pengaturannya sebelum
PP ini terbit. Apalagi dengan adanya pengenaan kewajiban divestasi saham oleh
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang
mengatur bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemagang IUP dan
IUP Khusus (IPUK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi
saham pada Pemerintah (pusat), pemerintah daerah, badan usaha milik Negara
(BUMN), badan usaha milik daerah (BUMD), atau badan usaha swasta nasional
(Pasal 112 ayat (1)). Kemudian sebagai aturan organis dari UU No.4 Tahun 2009
ini, terbitlah PP No. 23 Tahun 2010 yang diantaranya mengatur mengenai
peraturan pelaksanaan dari Pasal 112 UU No. 4 Tahun 2009 yang dalam Pasal 97
mengatur bahwa pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal asing,
setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya
secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit 20% (dua
puluh persen) dimiliki peserta Indonesia yang penawaran saham tersebut
dilakukan secara hirarkies, maksudnya pertama-tama ditawarkan kepada Pemerintah
(pusat) dan apabila Pemerintah (pusat) tidak berminat maka ditawarkan kepada
pemerintah daerah, dan seterusnya.
Terhadap pengaturan dalam PP 23 Tahun
2010 tersebut, ada beberapa persoalan pokok yang menimbulkan perdebatan, antara
lain mengenai komposisi saham paling sedikit 20% (dua puluh persen) yang
dianggap belum mencerminkan kedaulatan sektor pertambangan Negara sebagaimana
amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, yaitu negara sebagai
penguasa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya hanya
memiliki hak kepemilikan saham sebesar paling sedkit 20% (dua puluh persen). Padahal
dalam Pasal 4 UU No.4 Tahun 2009 mengatur bahwa mineral dan batubara sebagai
sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai
oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat.
Secara filosofis,
terdapat perbedaan makna antara “penguasaan” dan “pemilikan”, sebagaimana dalam
putusan Mahkamah Konstitusi terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2002 tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2010 tentang
Minyak dan Gas Bumi, bahwa:
“Interpretasi Pasal 33 UUD 1945 mengenai
“penguasaan” dengan penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukan
semata-mata pemilikan. Pemilikan adalah konsep perdata, sedangkan penguasaan
adalah konsep tata negara. Di dalam konsep menguasai tersebut tercakup
pengawasan, pemilikan, pengelolaan dan sebagainya. Itu merupakan kebijakan
negara. Yang penting adalah menentukan bagaimana kebijakan mengenai teknis
penguasaan yang tergantung kepada
komoditinya. Apakah suatu komoditi penting bagi negara atau menguasai hidup
orang banyak atau tidak tergantung kondisi, situasi dan perkembangan zaman.
Jadi dapat saja berubah. Misalnya migas kalau suatu hari nanti ada penggantinya
jauh lebih hemat dan ramah lingkungan boleh jadi migas tidak dianggap penting
lagi bagi negara atau tidak lagi menguasai hajat hidup orang banyak. Berikutnya
adalah bagaimana cara menguasainya. Yang penting adalah cara yang tidak merubah
status menguasai itu sendiri. Misalnya pemilikan, pemilikan adalah salah satu
bentuk penguasaan, tetapi tidak harus 100 persen, bisa saja 25 persen jika 25 persen tersebut berada pada posisi
menguasai. Sebaliknya walaupun 49 persen tetapi menentukan direktur saja tidak
bisa, berarti tidak berkuasa. Jadi konsep menguasai jelas sekali. Jangan sampai
ketentuan konstitusi diplesetkan “Bumi dan air dan segala kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dijualbelikan dengan harga internasional, dikuasai oleh negara dan
dijualbelikan dengan rakyat dengan harga internasional untuk sebesar-besar
kemakmuran pejabat negara.”Di sisi lain harus disadari bahwa negara ini sudah
terintegrasi oleh ekonomi dunia. Seorang negarawan harus pandai-pandai melihat
dan menilai dari banyak aspek. Jangan hanya melihat dari satu kacamata teori
ekonomi saja. Pasal 33 UUD 1945 janganlah
dipahami secara kaku. Pasal 33 UUD 1945 tidak anti privatisasi dan tidak
juga anti swastanisasi. State hanya salah satu domain saja dari 3 (tiga) domain
yang ada, yaitu state, civil society, dan market. Hakim harus adil di tengah-tengahnya, tidak bisa hanya memihak
negara dalam pengertian sempit, begitu juga civil society, tidak juga berpihak
kepada market. Ketiganya harus sama-sama kuat saling mengimbangi. Dalam sistem
demokrasi moderen ketiganya saling
menunjang dan harmoni. Dengan begitu demokrasi tumbuh sehat, dan di tengah
demokrasi yang sehat kesejahteraan
sosial-pun tumbuh.”[1]
Dengan demikian konsep “penguasaan”
mencakup kekuasaan untuk mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad),
mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (toezichthoudensdaad) cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan/atau yang mengusai hajat hidup orang
banyak untuk tujuan sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Penguasaan tersebut
sangat erat kaitannya dengan tujuan dari penguasaan untuk kemakmuran rakyat.
Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan
akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:[2]
1. segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air)
serta hasil yang didapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;
2. melindungi dan menjamin segala hak-hak
rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam
tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh
rakyat;
3. mencegah segala tindakan dari pihak manapun
yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan
haknnya dalam menikmati kekayaan alam.
Secara riil, bentuk penguasaan oleh
negara tersebut dapat dimanifestasi dari adanya pola pemberiaan izin dari
negara (pemerintah) kepada pihak lain untuk dapat memanfaatkan suatu sumber
daya alam yang dikuasai negara melalui rezim perizinan. Pemberian izin tersebut
bukan berarti suatu penguasaan oleh negara kemudian beralih kepada penguasan
oleh bukan negara, namun dengan rezim perizinan memperjelas kedudukan negara
(pemerintah) sebagai entitas yang memiliki kekuasaan terhadap penguasaan sumber
daya alam.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UU
No. 4 Tahun 2009, IUP diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota.
Pemberian izin tersebut memperkuat kedudukan Negara sebagai “penguasa” sumber
daya alam.
Selain itu, bentuk penguasaan oleh negara
terhadap sumber daya alam mineral dan batubara sebagaimana diulas sebelumnya
bentuk divestasi saham pemegang izin usaha pertambangan asing kepada peserta
Indonesa. Karakteristikan penambangan mineral dan batubara yang high cost, high
technology, high risk memang mengharuskan perusahaan asing untuk dapat pula
dalam kegiatan usaha pertambangan di Indonesia. Modal besar, teknologi tinggi,
serta kesiapan atas kerentanan resiko masih belum banyak dimiliki oleh perusahaan
nasional, sehingga mau tidak mau perusahaan asing dapat melakukan kegiatan
penambangan mineral dan batubara, sehingga selain menembus kesulitan modal dan
teknologi, maka potensi tambang yang ada tidak dibiarkan saja tanpa pengelolaan
sehingga menjadi “silent trove” namun dapat menjadi penerimaan negara serta
terjadinya alih teknologi guna mendukung teknologi dalam negeri.
Guna mengembalikan penguasaan dan
pemilikan mineral dan batubara tersebut dibentuklah konsep pengalihan kembali
atau divestasi saham dari perusahaan asing tersebut kepada peserta Indonesia.
Melalui pengaturan 5 (lima) tahu setelah berproduksi memungkinkan pelaku usaha
asing mendapat keuntungan secara penuh selama 5 tahun awal sebelum
didivestasikan sahamnya. Selain itu, peserta Indonesia (Pemerintah pusat,
pemerintah daerah, BUMN, BUMD, dan swasta nasional) tidak serta merta menerima
pengalihan saham secara cuma-cuma, saham yang ditawarkan tersebut tentunya
dibeli sesuai dengan mekanisme pasar.
Sebagaimana dalam PP No. 24 Tahun 2012
bahwa dalam rangka memberi kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia
untuk lebih berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan
batubara, perlu mewajibkan modal asing untuk mengalihkan sebagian sahamnya
kepada peserta Indonesia, Pemegang IUP dan IUPK dalam rangka penanaman modal
asing, setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi
sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sahamnya paling sedikit
51% (lima puluh satu persen) dimiliki peserta Indonesia. Perubahan jumlah saham
yang ditawarkan dari semula paling sedikit 20% (dua puluh persen) menjadi
paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) merupakan bentuk semangat dari
Pemerintah untuk memberikan partisipasi kebih besar kepada peserta Indonesia,
selain bahwa secara filosofis memuat kepentingan agar penguasaan serta
kedaualatan sektor pertambangan mineral
dan batubara berada di tangan Negara.
Selain itu, untuk memperjelas
mekanisme persentase penawaran yang dalam PP No. 23 Tahun 2010 belum diatur
makan dalam PP No.24 Tahun 2012 hal tersebut diatur. Kepemilikan peserta
Indonesia dalam setiap tahun setelah akhir tahun kelima sejak produksi tidak
boleh kurang dari presentase sebagai berikut: tahun keenam 20% (dua puluh
persen); tahun ketujuh 30% (tiga puluh persen); tahun kedelapan 37% (tiga puluh
tujuh persen); tahun kesembilan
44% (empat puluh empat persen);
tahun kesepuluh 51%
(lima puluh satu
persen) dari jumlah seluruh saham. Dengan demikian, tidak terjadi
kekosongan pengaturan mengenai tahapan waktu pengaturan sebagaimana dalam PP
No. 23 Tahun 2010 belum diatur.
Namun demikian, terdapat persoalan
pula dari rumusan tersebut, yaitu bagaimana bila dalam jangka waktu 5 (lima)
tahun setelah berproduksi komoditas tambang yang diusahakan telah habis
terlebih dahulu sebelum sahamnya dialihkan kepada peserta Indonesia. Tentunya
akan menjadi persoalan tersendiri, terutama apabila dengan sengaja perusahaan
tambang asing tersebut memproduksi komoditas tambangnya secara besar-besaran
dalam 5 (lima) tahun masa produksi sebelum dikenakan kewajiban divestasi saham.
Persoalan ini harus ditelaah dulu secara ilmu pertambangan, sehingga apabila
mungkin persoalan ini menjadi sesuatu yang mungkin, maka sebaiknya segera pula
dicarikan solusi hukumnya.
Lahirnya PP No. 24 Tahun 2012 menjadi
secercah harapan bagi beberapa persoalan kegiatan usaha pertambangan mineral
dan batubara, selain permasalahan divestasi saham, PP ini pun mengatur menganai
penataan kembali pemberian IUP untuk
mineral bukan logam dan batuan; tata cara permohonan IUP perpanjangan dalam
bentuk IUP terhadap pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara sehingga memberikan kepastian hukum. Semoga dengan
lahirnya PP ini dapat menjadi instrument bagi potensi mineral dan batubara
untuk dapat sebesar-besar kemakmuran rakyat.
[1] Jimly Asshiffiqie,
Politik Perekonomian Nasional, http://www.jimly.com/pemikiran/view/17
[2] Bagir Manan, dkk,
Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Masdar Maju,
1995), hlm. 17.